TOKOH PENDIDIKAN PARTAI HANURA Bpk. BAMBANG MARSONO

0 komentar

Beberapa bulan belakangan ini, Ketua Umum Partai Hanura kerap kali menerima kunjungan dari para Duta Besar negara sahabat. Pada kesempatan tersebut, ada sosok pria yang selalu mendampingi Wiranto ketika mereka melakukan pembicaraan tertutup dengan para Dubes. Beliau adalah Bambang Marsono, kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Partai Hanura.
Pemilik Oxford Course Indonesia ini tampak sangat bersemangat ketika kami jumpai di kantornya. Dengan ramah beliau bercerita tentang kehidupan dan pandangan-pandangannya terkait berbagai hal, khusunya dunia pendidikan yang memang menjadi fokus hidupnya.
Pria berusia 70 tahun yang masih tampak muda tersebut ternyata memiliki masa kecil yang penuh perjuangan. Beliau lahir dengan kondisi keluarga yang berkecukupan secara ekonomi, namun ketika ia kelas 1 SD, rumahnya didatangi rombongan partai politik tertentu yang kemudian memporak-porandakan rumah mereka dan dalam semalam orangtuanya jatuh miskin.
Sebagai anak ke-6 dari 10 bersaudara, Bambang kecil dituntut untuk dapat membiayai sekolahnya sendiri. Itu sebabnya ia rajin mengikuti berbagai jenis perlombaan yang berhadiah uang atau barang-barang kebutuhan sekolah. “Kamu tahu kenapa saya harus jadi juara kelas sewaktu SD?” tanyanya. Kami menggeleng dan beliau melanjutkan, “Karena ada hadiah buku tulis untuk juara kelas. Kalau saya tidak menjadi juara kelas, saya tidak bisa sekolah, karena tidak mampu beli buku tulis.”
Keharusan untuk membiayai sendiri kebutuhan sekolah terus terjadi hingga beliau kuliah di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, mengambil jurusan Bahasa Inggris. Sembari kuliah, beliau melakukan berbagai macam pekerjaan untuk menunjang kebutuhan kuliahnya. Mulai dari guru bahasa Inggris, memimpin sebuah teater di Jogjakarta, hingga mengisi acara di RRI. Gaji yang ia dapatkan dari menjadi guru ia belikan pocket book karya pengarang luar seperti Tolstoy, sisanya ia gunakan untuk keperluan kuliah dan makan sehari-hari.
Setelah berhasil mendapat gelar Sarjana Muda (D3) di UGM, ia melanjutkan kuliahnya ke Universitas Padjadjaran, Bandung. Lagi-lagi, ia menyambung hidup dengan cara mengajar di berbagai SMA daerah Bandung. Dari aktivitas mengajarnya itulah, ia mendapat tawaran pekerjaan di Unilever Indonesia. Aktivitasnya tidak berhenti disana, sambil bekerja ia juga kerap kali membuat tulisan untuk kemudian dikirim berbagai majalan dan surat kabar. Dalam jangka waktu 2 tahun, ia berhasil membeli rumah.
Kemampuan copywriting beliau terdengar oleh Ken Sudarto yang kemudian mengajaknya bergabung dengan Matari Advertising, sebuah agency iklan besar di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonominya, beliau memutuskan untuk membangun kursus bahasa Inggris Oxford Course Indonesia di saat umurnya masih terbilang muda, 27 tahun.
Sementara itu, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia mengambil jurusan Perpustakaan. Ketika ia melaksanakan praktek kerja di British Council, ia mendapat info tentang beasiswa training course di Inggris. Ia segera menemui boss British Council untuk mengutarakan niatnya ikut beasiswa tersebut, dan langsung disetujui untuk berangkat.
Singkat cerita, sepulang dari Inggris beliau melanjutkan pendidikan di sejumlah universitas lain, baik dalam maupun luar negeri. Mulai dari Universitas Terbuka, Henley Management College di Inggris tempat ia mendapatkan gelar Master of Science (MSc), Leister University untuk gelar Master of Arts (MA) di bidang Applied Linguistics dan TESOL (The Teaching of English to Speakers of Other Languages), Hogeschool van Utrecht di Belanda untuk gelar Master of Business Administration (MBA), Pacific Western University of Hawaii, USA mendapatkan gelar PhD (Doctor of Philosophy)di bidang Human Resources Management, Universitas Negeri Jakarta untuk gelar Doktor di bidang Manajemen Pendidikan pada tahun 2003, dan terakhir gelar Magister Manajemen dalam bidang Pemasaran Internasional pada tahun 2007 dari STIE Trianandra yang merupakan salah satu dari beberapa Perguruan Tinggi miliknya.
Hobinya untuk menuntut ilmu didorong oleh nasihat sang Ibunda yang menjelaskan bahwa, “Orang bodoh itu makanannya orang pintar. Jika kamu bodoh, nanti kamu dimangsa sama orang pintar.” Ia merasa bersyukur bahwa semangatnya untuk terus bersekolah di dukung oleh istri dan anak-anaknya, yang rela berpindah-pindah negara demi hobi menuntut ilmu yang ia miliki.
Saat ditanya tentang pendapatnya mengenai kurikulum 2013 yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah pihak, dengan tegas ia mengatakan, “Saya pribadi kurang suka dengan istilah kurikulum.” Bambang mengambil contoh Finlandia, sebuah negara kecil yang memiliki sistem pendidikan paling hebat di seluruh dunia, padahal mereka tidak menerapkan kurikulum dalam sistem pengajarannya. “Kenapa kita tidak mempelajari dan menerapkan sistem pendidikan di Finlandia yang sudah jelas-jelas terbukti berhasil dan diakui dunia? Daripada hanya coba-coba sistem pendidikan seperti selama ini?” tanya Bambang.
Pendidikan, menurut Bambang, adalah sesuatu yang tidak memerlukan sistem atau cara kerja yang aneh-aneh. Penentuan buku pelajaran tertentu yang wajib dibaca oleh siswa adalah salah satu hal yang tidak disetujuinya. Masalah lain yang ia kritisi adalah soal penyelenggaraan Ujian Nasional. Menurutnya, Ujian Nasional boleh saja diselenggarakan, asal sistem dan pelaksanaannya diperbaiki. “Masa Ujian Nasional sampai ada yang dikawal sama polisi bawa senjata? Ada juga yang pake CCTV. Ini mau mengawasi anak kita ujian atau mengawasi pencuri, sih?” ujarnya.
Bambang meyakini bahwa pendidikan itu memerlukan warm of love, kehangatan cinta. Itu sebabnya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan saat ini menurutnya sudah melenceng jauh. Pendidikan, terutama Ujian Nasional, hanya membuat orang tua dan siswa menjadi cemas dan kuatir. “Saya di Oxford Course Indonesia ini tiap 3 bulan ada ujian kenaikan tingkat. Kok tidak ada orang tua yang bingung? Tidak ada anak yang ribut?”
Kecintaan Bambang Marsono terhadap dunia pendidikan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Ia berjuang dengan caranya sendiri untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia melalui ratusan sekolah, Perguruan Tinggi, kursus, hingga Taman Kanak-Kanak miliknya. Bahkan, saat beberapa waktu lalu ia ditawarkan untuk memiliki green card dan menjadi warga negara Amerika, dengan tegas ditolaknya. “Tidak pernah terpikir dalam hidup saya untuk pergi ke negara Anda dan menjadi warga negaranya,” jawabnya saat itu.
Di akhir perbincangan, Bambang menekankan bahwa hal utama yang harus dibenahi oleh pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan adalah biaya sekolah, utamanya Perguruan Tinggi. Atau lebih sederhananya lagi adalah memperbanyak beasiswa bagi pelajar kurang mampu. Sebagai gambaran, persentase anak SMA yang bersekolah dari total anak kisaran usia 15 -18 tahun adalah 39,8%. Persentase itu menurun drastis ketika mencapai usia Perguruan Tinggi, yaitu menjadi sebanyak 3,88%.
Itu sebabnya biaya sekolah adalah hal utama yang harus dibenahi, karena ia yakin bahwa masyarakat Indonesia harus pintar dahulu, baru kemudian dapat berpikir lebih jauh untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Share this article :